Sinopsis Si Pahit Lidah

Posted by Just Abud Label:

Sinopsis dan Klasifikasi Syair Si Pahit Lidah

Oleh:

Ayu Budi Kususma Wardhani

09/282334/SA/14771

· Sinopsis

Tersebutlah sebuah kisah di Palembang seseorang bernama Serunting. Serunting dikabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Rie Tabing. Permusuhan ini disebabkan oleh rasa iri hati Serunting terhadap Rie Tebing. Mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Di bawah pepohonan itu tumbuh cendawan. Cendawan yang menghadap ke arah ladang Rie Tabing tumbuh menjadi logam emas, sedangkan cendawan yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna. Rasa iri hati pun menjadi sebuah perseteruan.

Perseteruan itu telah berubah menjadi perkelahian. Namun, Rie Tabing menghentikan perkelahian karena menyadari kesaktian Serunting yang melebihi dirinya. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk Sitti (isterinya yang merupakan adik dari Serunting) untuk memberitahukan rahasia kesaktian Serunting. Menurut isteri Rie Tabing, kesaktian dari kakaknya berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi. Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah.

Kemudian, ia pergi mengembara karena merasa terpukul atas pengkhianatan adiknya. Ia sempat menghadap Baginda Raja Majapahit di pulau Jawa untuk meminta kesaktian, tetapi ia tidak mendapatkannya. Akhirnya, Serunting bertapa di hutan. Meskipun dalam pertapaan ia digoda oleh jin dan setan, tetapi imannya tetap kuat. Ia bertahan dalam hujan dan panas selama sepuluh bulan. Setelah raja mendengar bahwa Serunting bertapa selama sepuluh bulan, ia menyuruh pengawal dan para menteri untuk menjemput Serunting di hutan. Ketika ditemui di hutan, tubuh Serunting sangat kurus dan ia hampir meninggal. Kemudian, Serunting dibawa ke istana untuk diobati. Setelah Serunting sembuh, raja menyuruhnya untuk berhenti bertapa dan pulang ke negeri asalnya.

Namun, Serunting tidak menyerah. Ia membuktikan kesungguhan hatinya dengan bertapa sekali lagi. Ia kembali dijemput oleh para menteri dalam keadaan yang hampir meninggal. Setelah ia sembuh, ia memohon kepada raja agar diberikan kesaktian. Namun, raja tetap menolak. Akhirnya, ratu pun luluh melihat kegigihan Serunting. Ratu menyuruh Serunting untuk menengadahkan mulutnya. Kemudian, mulut Serunting diludahi oleh ratu. Serunting sebenarnya merasa dihina, namun ia tahan perasaan itu. Ia merasa usahanya selama ini gagal. Ia tidak mendapatkan kesaktian dari Sang Raja.

Ketika ia melewati kebun istana, ia melihat buah yang ranum. Buah itu merupakan buah yang khusus dipetik hanya untuk ratu dan dijaga oleh banyak pengawal. Pengawal tersebut memberikan satu buah kepada Serunting untuk dicicipi. Ketika Serunting meminta lagi untuk perjalanan pulang, pengawal itu menolaknya. Pengawal takut dimarahi oleh ratu. Serunting marah karena tidak mendapatkan buah yang lezat itu lagi. Tanpa sengaja, ia berucap bahwa buah itu pahit lalu melenggang pergi.

Keesokan harinya, buah itu dipetik dan dihidangkan kepada raja dan ratu. Raja dan ratu marah karena buah yang dulunya lezat menjadi pahit sampai ke sumsum tulang. Raja dan ratu memanggil pengawal untuk meminta penjelasan. Pengawal menceritakan semuanya, termasuk perkataan dari Serunting. Raja dan ratu akhirnya mengerti bahwa Serunting belum mengetahui kesaktiannya. Sebenarnya, ketika meludahi mulut Serunting, ratu telah memberikan kesaktiannya. Kesaktian tersebut berupa apapun perkataan Serunting akan menjadi kenyataan. Buah milik ratu akhirnya menjadi sangat pahit dan tidak selezat dulu. Oleh karena itu, mereka menjuluki Serunting sebagai Si Pahit Lidah.

Serunting meninggalkan Majapahit dan kembali ke Palembang. Ia merindukan adiknya karena sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Ia tak tahu keadaan Sitti saat ini, masih hidup ataukah sudah meninggal. Sesampainya di desanya dulu, ia meminta sedikit makanan dan minuman kepada orang-orang yang lewat. Namun, tidak satupun dari mereka mau memberi. Ia marah dan mengumpat bahwa orang-orang di desa Muara adalah kera yang tidak mau menolong orang yang sengsara. Setelah kepergian Serunting atau Si Pahit Lidah, semua orang di desa Muara menjadi kera.

Ketika Serunting sampai di rumahnya, ia melihat adiknya hanya seorang diri. Ia menanyakan Rie Tabing kepada adiknya. Sitti hanya menjawab bahwa suaminya telah pergi meninggalkan dirinya dan tidak ada kabarnya lagi. Akhirnya, Serunting mengetahui kesaktiannya ketika tanpa sengaja membuat adiknya menjadi batu akibat kata-katanya. Serunting bingung harus berbuat apa. Ia bahagia dengan kesaktian yang didapatkan, tetapi ia sedih dengan nasib adiknya. Lalu, nama Serunting sebagai Si Pahit Lidah mulai menyebar ke seluruh negeri. Semua orang takut saat menatapnya. Serunting menjadi orang yang takabur. Ia menyumpahi semua orang yang membuatnya marah menjadi batu. Namun, ia juga pernah berbuat kebaikan dengan mengubah tongkat seorang nenek tua menjadi emas sehingga nenek itu menjadi orang kaya.

Hari berganti hari, Serunting merindukan adanya keluarga. Ia ingin memiliki istri dan anak. Setelah mendengar cerita dari seorang nenek tentang tujuh bidadari yang mandi di sungai, ia penasaran untuk melihat mereka. Ketika bidadari-bidadari itu mandi di sungai, ia mencuri salah satu selendang dari ketujuh bidadari. Akibatnya, bidadari bungsu tidak dapat kembali ke khayangan. Serunting menolongnya dan mereka saling jatuh cinta. Mereka mempunyai anak dan membentuk keluarga yang bahagia. Pada suatu hari, Serunting tanpa sengaja memberikan selendang kepada istinya yang ingin menari. Setelah mendapatkan selendangnya, isterinya kembali menjadi bidadari dan terbang ke khayangan. Sang bidadari meninggalkan suami dan anaknya.

Sejak kepergian isterinya, Serunting menjadi semakin kejam. Ia mengutuk semua orang menjadi batu. Kesaktian dan kekejaman Si Pahit Lidah didengar sampai ke telinga Si Mata Empat. Suatu hari, Si Mata Empat muncul dan mengajak Si Pahit Lidah bertarung. Mereka berdua mempunyai kesaktian yang sama hebatnya. Namun, pada akhirnya, Si Pahit Lidah meninggal dunia dan Si Mata Empat menjadi pemenangnya. Cerita Si Pahit Lidah dan seluruh kekejamannya berakhir di sini.

· Klasifikasi

Menurut teori Winstedt, Syair Si Pahit Lidah termasuk di dalam kesusastraan rakyat atau folk literature. Hal ini dapat dibuktikan dari isi syair yang menceritakan mengenai legenda rakyat di Palembang. Syair Si Pahit Lidah menjadi cerita yang diceritakan secara turun-temurun. Menurut teori Braginsky, karya ini termasuk ke dalam sastra melayu klasik dengan genre syair. Hal itu terbukti dari cara penyajiannya yang mencirikan bentuk syair, yakni tiap bait terdiri dari empat larik dengan rima yang sama. Teori Liaw Yock Fang memiliki kesamaan dengan teori Winstedt dalam mengkategorikan syair ini, yakni Syair Si Pahit Lidah termasuk ke dalam kesusastraan rakyat.

Balkon Edisi 129 (Sosok)

Posted by Just Abud Label:

Penghidang Mayat Berprofesi Ganda

Ketekunan dan ketelitian merupakan kunci keberhasilannya. Murjiono menerapkan dua hal itu secara apik pada profesi ganda yang tengah ia geluti.

Dua pintu bangunan berwarna pucat itu terbuka lebar, seluruh isinya terlihat jelas dari luar. Melewati ambang pintu, tampak tumpukan kulit berbahan silikon berserakan. Tak luput para tulang yang dijejer rapi dengan alas kain. Begitu pula dengan kerangka manusia yang bergelantungan pada sebatang besi tua. Sementara di sudut ruangan, berdiri replika tubuh kaum Adam dan Hawa.

Penggambaran tersebut hanya sebagian kecil dari suasana Bengkel Anatomi di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Selasa (11/5), tampak dua orang lelaki di ruangan bengkel tengah sibuk bergulat dengan tulang di tangannya. Salah satu tersenyum hangat ketika balkon menyapa. Ia adalah Murjiono, pegawai negeri golongan II-B yang bekerja sebagai pelayan laboratorium. Sebagian besar waktunya didedikasikan untuk menyiapkan peralatan praktikum bagi mahasiswa FK. Di samping itu, ia telah membuktikan bahwa tak perlu gelar dokter untuk membuat replika kerangka manusia.

Berawal dari Coba-coba

Sulitnya mencari kerja pada tahun 1988 mendorong Murjiono untuk melamar pekerjaan di laboratorium FK. Hingga kini, ia telah menekuni pekerjaannya selama lebih dari 22 tahun sebagai pelayan laboratorium. Tugasnya ialah menyediakan alat dan bahan praktikum mahasiswa FK. Kesempatan lain datang usai ia bergulat dengan pekerjaannya selama dua belas tahun.

Pada tahun 2000, ia memperoleh tawaran dari Dr. dr. Djoko Prakosa untuk membuat replika kerangka manusia. Mulanya lelaki asli Sleman ini merasa ragu untuk menyanggupi tawaran tersebut. Namun ia tetap mencobanya. “Saat itu, saya sekadar coba-coba,” ungkapnya. Enam bulan pertama, ia belajar membuat cetakan replika walau berbekal pengetahuan seadanya.

Replika pertamanya berbentuk kerangka sederhana. Setelah berhasil, ia mencoba membuat tiruan lengan yang berinfus. Saat proses inilah kendala mulai hadir. Bagi Murjiono, pembuatan tiruan lengan berinfus tak semudah membuat replika kerangka badan. “Saya sering mengalami kegagalan dalam pembuatan tiruan ini,” tuturnya. Ia pun mencoba berbagai cara. “Saat itu, saya juga menggunakan ukuran lengan teman sebagai contoh,” kenangnya. Akhirnya ia pun mampu membuat tiruan lengan berinfus yang digunakan dalam praktikum penyuntikan cairan ke aliran darah manusia.

Seiring berjalannya waktu, kemampuan Murjiono pun meningkat. Lengan jahit yang biasa digunakan pada praktik menjahit luka pun berhasil dibuatnya. Lelaki yang lahir 43 tahun silam itu kini diberi kepercayaan untuk menjalankan usaha Bengkel Anatomi di FK UGM.

Kepercayaan yang diperoleh, tak lantas membuat Murjiono berpuas diri. Ia tetap menciptakan inovasi-inovasi. Bahkan melalui arahan sederhana Dr. dr. Djoko Prakosa, ia sanggup membuat replika alat kelamin pria, sirkumsisi, yang digunakan dalam praktikum sunat.

Pekerjaan Beresiko

Namun, pekerjaan yang tengah ditekuni Murjiono bukan tanpa resiko. Sebagai pelayan laboratorium FK, ia sering berhubungan dengan mayat yang diawetkan— kadaver. Bahan utama dari pengawet mayat adalah formalin yang berpengaruh buruk bagi tubuh manusia.

Bagi Murjiono, interaksi dengan formalin sudah dianggapnya seperti ritme menggosok gigi. “Hampir terjadi setiap hari,” ujarnya. Frekuensi praktikum yang dilakukan mahasiswa FK juga mempengaruhi kadar formalin di lingkungan Bengkel Anatomi. “Saat ada praktikum, bau formalin tercium hingga kawasan Bengkel,” tambah laki-laki berkumis itu. Situasi ini terjadi karena letak Bengkel Anatomi berhadapan dengan laboratorium FK.

Tingginya frekuensi formalin yang dihirup Murjiono dapat berpengaruh pada gangguan pernafasan. Bahkan, mampu menyebabkan penyakit kanker. Murjiono jelas mengetahui resiko dari pekerjaan ini. Karena itu, ia membiasakan diri mengenakan masker, sarung tangan, dan baju tahan air ketika memindahkan kadaver. Tindakan preventif ini berfungsi untuk meminimalisir pengaruh formalin untuk menjangkau tubuh. “Namun, dampaknya tetap terasa dalam tubuh,” keluhnya. Ia juga meresahkan bahwa fasilitas keselamatan kerja di FK kurang memadai.

Murjiono sudah dua kali memberikan permohonan untuk penyediaan sepatu karet, tetapi tak ada tanggapan. Baginya, sepatu tersebut bermanfaat cukup signifikan. Tanpa sepatu itu, kakinya yang terkadang lecet akan terasa perih bila tak sengaja terkena tumpahan formalin.

Guna meminimalisir dampak formalin, Murjiono pun diberi jatah susu. Fungsinya untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kini, jatah tersebut berkurang. Jika awalnya ia bisa minum jatah susu dari bagian anatomi setiap hari, semenjak tahun lalu jatah tersebut diganti dengan jatah dari fakultas yakni seminggu dua kali. “Mungkin bagian anatomi ingin mengurangi anggaran pengeluaran,” ungkap Murjiono. Namun, berkurangnya anggaran tak lantas membuat permintaannya terhadap sepatu karet dipenuhi.

Ancaman kesehatan juga datang dari pekerjaannya di Bengkel Anatomi. Dalam pembuatan kerangka dan maneken, Murjiono juga menggunakan zat kimia pemercepat proses pengerasan bahan dasar rangka yakni resin. Efek bahan ini pun buruk bagi tubuh. Padahal intensitasnya di bengkel cukup lama. Lebih dari dua belas jam digelutinya untuk membuat tiruan anggota tubuh manusia. Akan tetapi, resiko tersebut tidak mengurangi kecintaan dan loyalitasnya di Bengkel Anatomi.

Fleksibel

Meskipun pekerjaan Murjiono penuh resiko, pendapatan yang diterima justru tak sesuai. Sebagai pelayan laboratorium, ia hanya memperoleh gaji 2,1 juta per bulan. Sebagai pengelola Bengkel Anatomi, pendapatan yang diterimanya pun tak pasti. “Ya mau gimana lagi, sekarang susah mencari pekerjaan,” ungkap bapak tiga anak ini. Padahal, atas jasanya lah Bengkel Anatomi memiliki pelanggan dari luar Jawa dan mulai dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Bengkel yang dikelola juga kerap dibanjiri pesanan replika. Harga yang dipasarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 2.500,00 hingga Rp 6.000.000,00. Bahkan satu replika juga mampu menghasilkan keuntungan hampir seratus persen dari harga asli. Tiruan tangan berinfus, misalnya. Biaya produksi yang dihabiskan sekitar Rp 600.000,00 dan bisa dijual seharga Rp 1.200.000,00.

Meskipun keuntungan yang diperoleh besar, Murjiono mengaku tak mengetahui sistem keuangan Bengkel Anatomi. Semua laporan administrasi diatur oleh Dr. dr. Djoko Prakosa, selaku pemilik. “Saya pribadi merasa enggan kalau menanyakan masalah ini ke beliau,” ujar anak kedua dari enam bersaudara ini. Ia merasa Dr. dr. Djoko Prakosa telah berjasa besar. Segala kesempatan yang diperolehnya dianggap lebih dari cukup.

Namun, kegelisahan Murjiono akan nasib karyawan di bagian anatomi FK kembali menghantui. Ia meresahkan tak adanya sistem rotasi karyawan di bagian anatomi FK dapat berakibat buruk pada karyawan. Berbeda dengan bagian lain yang memiliki sistem rotasi. “Jika mulanya menjadi karyawan di bagian laboratorium, bisa pindah menjadi karyawan administrasi,” tuturnya.

Keberadaannya di UGM juga tak banyak dikenal orang. Mahasiswa-mahasiswa kedokteran sekadar lalu lalang untuk meminjam replika tulang. Padahal, atas jasa pria ini nama Bengkel Anatomi cukup terkenal di arena penjualan replika. Asanya untuk dikenal pun tak begitu besar. Ia tak mengharapkan apresiasi yang istimewa dari mahasiswa. Cukuplah dengan memanggil dan mengingat nama akrabnya saja: Murjiono. [Abud, Gigi]

Balkon Edisi 127 (Laput)

Posted by Just Abud Label:

Menilik Efektivitas Portal Gate


“Berkurangnya perilaku negatif tidak signifikan. Pengadaannya pun hanya sekadar pemborosan.” tutur Eni Wahyuni, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2006


Berbagai kebijakan dituangkan dalam Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK) periode 2005-2015. Pemasangan portal gate menjadi salah satu bagian di dalamnya. Portal gate merupakan wujud pengimplementasian Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi kampus educopolis. “Educopolis menciptakan suasana kampus yang kondusif untuk kegiatan belajar-mengajar.” ungkap Dr. Ing. Singgih Hawibowo, Dewan Pemeliharaan dan Pengelolaan Aset (DPPA) UGM.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, pihak universitas melaksanakan beberapa perubahan fisik. “Perubahan yang dimaksud meliputi penataan taman, penghijauan, dan pengaturan lalu-lintas.” ujar Singgih. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing untuk mewujudkan kampus educopolis.

Singgih menegaskan bahwa penghijauan dan penataan taman ditujukan untuk membuat kampus lebih nyaman. “Diharapkan taman-taman di kawasan UGM bisa menjadi tempat diskusi mahasiswa,” ujarnya. Sementara itu, pengaturan lalu-lintas menjadi latar belakang diperlukannya pemasangan portal gate.

Sejak 15 Desember 2007, UGM memagari Jalan Sosio Yustisia dan Bhineka Tunggal Ika. Kedua jalan yang terhubung dengan Jalan Kaliurang tersebut ditutup untuk membatasi akses masyarakat umum ke area kampus. Awalnya, UGM menginginkan konsep satu pintu sebagai jalur utama untuk memasuki wilayah kampus. “Hal itu tidak dapat terealisasi karena terdapat Jalan Kaliurang yang membelah kampus menjadi dua sisi, yakni sisi Timur (sains) dan sisi Barat (sosio humaniora).” Ujar Singgih.

Oleh karena itu, dibuatlah pemasangan beberapa portal pada titik-titik utama di setiap sisi kampus. Mustofa S. IP, M. PA., sebagai Kepala Seksi Dewan Pemeliharaan dan Pengelolaan Aset (DPPA) menyebutkan, terdapat delapan kluster di kawasan UGM. “Semua itu meliputi kluster Magister Manajemen, Teknik, Sains, Farmasi, Sekip, Agro Sosio Agresia, Agro Sosio Humaniora, dan Agro Sosio Fauna.” sebutnya.

Di bawah naungan DPPA, portal gate mengalami perkembangan cukup signifikan, baik dari segi fungsi maupun jumlah. Buktinya, UGM meresmikan jalan satu arah yang dirintis di jalan Pancasila pada 2009. Menurut pihak universitas, hal ini dirasa cukup efektif untuk memperlancar arus lalu lintas di kawasan UGM.

Namun, dalam pelaksanaannya terdapat permasalahan. Rendi Grenadi, mahasiswa Jurusan Teknik Industri 2006 menuturkan, portal gate justru merugikan sivitas akademika. “Keberadaannya sangat mengganggu mobilitas mahasiswa di area UGM,” Keluhnya.

Di lain sisi, keberadaan portal juga mengundang tanggapan positif dari mahasiswa. Anugrah Kusuma Ramadhan, mahasiswa Arkeologi 2006 merasa setuju dengan adanya portal gate. “Setahu saya portal berfungsi menjaga keamanan UGM. Selama dampaknya positif kenapa tidak?” ujarnya.

Berbeda dengan Anugrah, Eni Wahyuni, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2006 menganggap bahwa berdirinya portal membuat UGM semakin ekslusif. Selain itu, adanya portal juga memunculkan anggapan negatif mengenai ketidakjelasan dana yang digunakan. “Ini membuka kesempatan orang-orang yang terlibat untuk korupsi,” keluh Eni.

Tidak banyak sivitas akademika yang merasakan dampak signifikan akan pemasangan portal. Seperti yang dirasa Tanti Rahmalia, mahasiswa Fakultas Geografi 2005. “Setahu saya, dampak portal justru dirasakan oleh mahasiswa di daerah sosio humaniora sana,” ujarnya.

Pemasangan portal berdampak pada aktivitas di wilayah UGM. Sebelum portal berdiri, banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah pasar minggu pagi, yang akrab dengan sebutan Sanmor.

Awalnya, Sanmor berlangsung di area Bulevar hingga deretan Jalan Sosio Humaniora dan Sosio Yustisia. Dengan adanya kebijakan portal gate, Sanmor hanya dapat diadakan di sepanjang kawasan Sosio Humaniora sampai Sosio Yustisia. “Kami hanya mencarikan tempat yang kondusif untuk Pedagang Kaki Lima,” terang Drs. Suryo Baskoro M. Si, Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan.

Ia juga mengaku pemasangan portal memberikan dampak positif pada sektor keamanan. “Dengan adanya portal, tingkat tindak kejahatan menurun 40 %,” ungkapnya. Namun, Eni tak sependapat dengan hal tersebut. “Berkurangnya perilaku negatif tidak signifikan. Pengadaannya pun hanya sekadar pemborosan.” tutur Eni.

Di lain sisi, pihak rektorat mengaku efektivitas portal tidak selalu berjalan sempurna. Adanya keluhan dari beberapa mahasiswa menjadi alasan. Belum lagi ditambah adanya permasalahan internal antara pihak rektorat dan Satuan Kerja Keamanan Kampus (SKKK) yang menghambat pelaksanaan portal.

Sutrisno, salah satu personel SKKK yang sudah bekerja selama enam tahun mengeluhkan mengenai sedikitnya personel keamanan kampus. Dengan sistem kerja delapan jam per hari, ia pun merasa kelelahan. “Kadang saya menambah jam kerja untuk menutupi kekurangan personel.” keluh Sutrisno.

Tak hanya penghuni kampus, masyarakat umum pun merasakan dampak dari portal gate. Samsuri, seorang tukang becak yang biasa beroperasi di area kampus merupakan salah satunya. Ia merasa letih karena harus memutar arah untuk mencapai tujuan penumpangnya. “Meskipun energinya tambah, ongkosnya tetap sama,” ujarnya. Samsuri juga menyesalkan minimnya sosialisasi dan koordinasi perihal portal.

Sampai saat ini, kurangnya komunikasi di antara kalangan petinggi UGM dan mahasiswa masih menjadi kendala. Komunikasi pihak rektorat hanya sebatas kepada Lembaga Eksekutif Mahasiswa tingkat fakultas. “Sosialisasinya belum ke mahasiswa secara langsung,” ungkap Anugrah. Ini menandakan bahwa kebijakan masih dianggap sebagai otoritas pembuatnya semata.

Rencananya, kebijakan lanjut yang akan ditempuh pihak rektorat adalah parkir berbayar bagi seluruh masyarakat, baik sivitas maupun nonsivitas UGM. Seorang petugas SKKK yang enggan memberikan identitasnya, memberitahu seputar rencana parkir berbayar ini. “Rencananya mulai tanggal 28 Maret ini kebijakan tentang parkir akan dijalankan” ungkapnya.

Khusus sivitas akademika akan diberikan Kartu Induk Kendaraan (KIK) sebagai tanda masuk memasuki area kampus. Namun, kebijakan tersebut masih belum bisa dipastikan untuk digalakkan bulan ini. “Belum tahu lagi kalau ada perubahan dari atasan,” tambah Sutrisno. [Abud, Deni, Diaz]

Balkon Magang Edisi 125

Posted by Just Abud Label:

Ritual Kebebasan ala Negeri Bollywood

Ekspedisi pembebasan diri melawan kekangan duniawi melalui gerbang seni

Ditengah semilir angin malam, terdengar riuh rendah tepuk tangan yang bergemuruh. Rabu itu (2/12), Concert Hall megah yang semula terang berubah temaram indah oleh belasan lampu pelangi. Di dalam ruangan indah itu, interaksi pembawa acara dengan spektator mengalir mulus. Tawa penonton membahana kala lelucon dilontarkan presenter yang berbalut kain sari dengan sindoor melekat di dahinya. Keakraban ini terpancar sampai lampu mulai dipadamkan.

Nyala lampu kembali semarak ketika panggung dihuni oleh delapan sosok berkostum sederhana. Tanpa membuang waktu, kelompok musikus jazz asal India, Taal Tantra, segera memulai pertunjukan. Perpaduan antara alat musik modern berupa gitar, bas, dan saxophone berdampingan mesra dengan suara tabla, seruling, terompet tradisional, dan kendang kecil khas India. Kolaborasi itu menyajikan lantunan lagu lambat, cepat, pedih, dan senang yang bercampur menjadi melodi indah khas Taal Tantra.

Acara yang dihelat di Taman Budaya Yogyakarta oleh Jawaharlal Nehru Centre dan Embassy of India ini memunyai misi untuk mempererat persahabatan antarnegara. “Hubungan antarnegara tak hanya dilaksanakan di tataran elit saja, layaknya acara ini yang bermaksud untuk menjalin hubungan antarkalangan akar rumput secara langsung,” tutur M.K. Singh, Ketua J. Nehru Indian Culture Centre, ketika ditanya perihal tujuan acara.

Penampilan grup Taal Tantra, yang dalam bahasa Indonesia berarti Ritual Menuju Kebebasan, ini merupakan bentuk inspirasi untuk para pendengar. “Musik adalah sebuah elemen netral yang mengandung berbagai interpretasi dan berfungsi sebagai ritual pembebasan diri,” ujar Tanmoy Bose, punggawa grup ini. Menurutnya, semua alat musik merupakan jembatan bagi kebebasan diri masing-masing personil.

Enam tembang India beraliran jazz fusion yang disuguhkan bak maraton itu tak lantas membuat penonton bosan. Setiap lagu memiliki aransemen berbeda yang kreatif. Pada lagu kedua, mereka memadukan empat aliran musik, yakni jazz, modern, tradisional, dan pop. Sedangkan sentuhan rock sangat terasa kental di lagu keempat. Kebebasan dalam memadukan aliran-aliran musik inilah yang menjadi ciri khas Taal Tantra. Yakni, sebuah perpaduan antara musik tradisional dengan kontemporer yang mampu menghipnotis penonton.

Penonton dibuat semakin terpesona dengan kreasi unik sang maestro. Pipinya ditepuk berulang kali dengan gerakan khusus hingga mengeluarkan suara berderak. “Kesan awalnya aneh, tapi setelah diiringi musik malah jadi seru dan terdengar unik”, ujar Indri Novi Harawati, mahasiswi Sastra Indonesia angkatan 2009.

Kolaborasi maestro dengan M. K Singh dan dua pengamen penjelajah Calcutta yang eksotik, membuat penonton membeku di tempat duduk hingga pertunjukan usai. Kekecewaan menyelimuti para penonton ketika lagu terakhir berhenti mengalun. “We want more…We want more,” teriak pembawa acara dan penonton secara bersamaan. Personil Taal Tantra mulai memasang kembali kabel instrumen musik. Mereka memberi kenangan manis pada penonton dengan dua lagu tambahan yang disajikan.

Akhirnya, standing applause dari penonton di akhir lagu menjadi klimaks seluruh pertunjukan. Tanpa biaya sepeser pun, penonton justru mengantongi nilai estetik budaya Bollywood itu sendiri. [Abud, Ali]