Belajar Menulis,,

Posted by Just Abud Label:

BOM

“Tik..tik..tik..tik..tik..tik..” Duh suara apaan sih itu berisik banget, seperti suara jam deh tapi kan jam dindingku mati. Suara apaan ya?? Aku sudah cari di seluruh sudut ruangan kok belum ketemu juga ya padahal kan suaranya dekat banget..
***

Lantunan lagu puspanya st 12 sudah mulai terdengar dari hpku berarti sekarang aku harus bangun dan mulai menjalani rutinitas seperti biasanya. Duh kenapa sih cepat banget pagi datang padahal rasanya aku baru tidur satu jam yang lalu deh, tapi ya mau gimana lagi aku tidak mungkin tidur lagi kan. “Putri..Putri..Putri cepet dong bangun ini sudah jam 6 lho nanti kamu telat.“ Heran deh kenapa teriakan mama selalu sama setiap paginya dan suaranya itu lho membuat telinga jadi sakit padahal kan jam segitu aku sudah berdiri di depan kaca dan siap untuk berangkat. Sudah 2 tahun lebih duduk di SMA dan menjalani rutinitas yang sama setiap harinya, namun mamaku belum hapal juga. Tapi aku malas menjelaskan ke mama karena nanti pasti malah jadi panjang. Pernah suatu kali aku menjelaskan bagaimana caranya memakai kamera digital katanya sih sudah ngerti tapi ya itu aku tetap aja jadi tukang foto kalau ada acara apapun mulai dari arisan sampai kegiatan kegiatan kampung yang lainnya, maklum mamaku kan ketua RT jadi sibuk banget jadinya percuma kan penjelasanku yang panjang lebar sampai mulut berbusa. Mamaku kan RT kenapa nggak nyuruh anggotanya aja sih.
Setelah berhasil menghindari mama akhirnya aku harus memutar otak untuk menghindari teman temanku di sekolah. Tapi sampai mereka datang aku belum juga menemukan caranya. “Pagi Sasti!“ Sapa melani dan saskia. ”Pagi“ Jawabku enggan. Kenapa sih mereka harus memanggilku Sasti padahal kan namaku Putri Arum Prasasti dan aku lebih suka dipanggil Putri meskipun kata mereka nama Putri itu pasaran atau banyak orang yang punya nama seperti itu jadi kedengarannya tidak spesial. Alasan macam apa itu padahal papa dan mama pasti punya alasan yang spesial dong dengan memberikan nama itu padaku. Picik sekali pikiran mereka meskipun kami sudah sekolah di SMAN 2 Surabaya, sekolah yang katanya elite karena identik dengan anak-anak menengah keatas. Awalnya aku ingin sekolah di tempat yang biasa saja toh dimanapun tempatnya kan sama saja tergantung bagaimana kemampuan diri kita sendiri tapi lagi-lagi mama lebih mementingkan gengsi. Tapi tentu saja ini semua ucapan-ucapan di pikiranku dengan senyum yang selalu terkembang untuk mereka.
***

“Duh capek deh daritadi belajar terus nanti pulangnya kita refresh ke mall yuk?” Ajak melani. “Bener banget tuh lagian malas di rumah cuma bengong.” Kata saskia antusias. “Tapi kan kita sudah kelas tiga sebentar lagi UNAS, 6 pelajaran lagi kita tunda aja ke mallnya.” Bujukku “Ditunda sampai kapan? Selesai UNAS? Gila aja!” Timpal saskia “Lagian kita mau ngapain dirumah? Belajar? Barusan kan sudah di sekolah” Tambah melani. Padahal aku tau banget berjam-jam di kelas mereka gunakan untuk bergosip, main hp, dll. Itu yang membuat mereka capek? Ha..ha..ha tawaku hambar dalam hati. Tapi toh pada akhirnya aku menuruti ajakan mereka dengan berat hati tentunya.
***

Duh..benar-benar hari yang melelahkan. Memang paling nyaman dikamar sendiri bebas melakukan apapun tanpa takut dinilai atau dikomentari. Sebenarnya berteman dengan mereka adalah suatu kebetulan. Kebetulan duduknya deketan jadi sering ngobrol deh dan tanpa sadar jadi satu geng meskipun kita beda prinsip sih. Kalau sekarang aku mau cari temn yang lain pasti sudah telat karena mereka semua sudah punya geng sendiri-sendiri jadi aku hanya bisa terima nasib deh.
“Putri..Putri sini sayang papa dan mama mau bicara.” Panggil mama sore itu. “Ada apa sih? Kayaknya serius banget.” tanyaku heran. ”Begini lho kamu kan sudah kelas 3 SMU setelah lulus kamu ingin masuk mana?” tanya papa. “Aku sih rencananya ingin kuliah di UNESA (Universitas Negeri Surabaya) biar bisa jadi guru.” kataku antusias. ”Oalah..nak lulusan SMAN 2 Surabaya kok jadi guru, sekolahmu sekarang itu sekolah komplek, sekolah elite jadinya ya rugi kalau cuma jadi guru.” bantah mama. “Bener kata mamamu nak kamu jadi dokter saja kayak papa nyari uang gampang dan dihormati orang.” tambah papa. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam dan mencoba mengarahkan pembicaraan ke hal yang lain.
***

Akhirnya aku bisa kembali ke kamar kesayanganku dengan penuh perjuangan untuk menghindar dari segudang pertanyaan mama dan papa tentang masa depanku yang aku sendiri belum siap menjalaninya. Ditambah komentar negatif mereka tadi yang membuatku semakin bimbang. Terkadang aku berpikir kenapa orang tua tak memberikan hak penuh pada kita untuk memilih. Toh apapun pilihannya akan membuat kita belajar dari sebuah keberhasilan ataupun kegagalan yang kan kita dapatkan nantinya. Tapi haruskah aku mengabaikan perkataan mereka??
***

“Tik..tik..tik..tik” akhir-akhir ini aku sering sekali mendengar suara itu tapi tetap saja sampai sekarang aku belum juga menemukan sumbernya. Sampai pada akhirnya musibah itu terjadi.
***

“Aku ada dimana ya kok sinarnya silau banget sih?” Tanyaku bingung. Ya tentu nggak ada yang jawab karena cuma ada aku disana dan sebuah cermin besar berbentuk bulat. “Kenapa cermin ini bisa disini??” Tanyaku dalam hati. ”Dari sekian banyak barang di dunia ini kenapa harus cermin yang ada di dekatku.” Aku bertanya-tanya sambil memandanginya. Aku berdiri didepannya dan cermin itu memantulkan bayanganku, tapi yang aku bingung kenapa wajahku tampak muram di dalam cermin itu? ”Tik..tik..tik..tik“ Bunyi itu terdengar lagi dan bayanganku di dalam cermin meledak dan hancur berkeping keping. Badanku gemetar ketakutan dan aku meneteskan air mata, lalu tiba-tiba banyanganku muncul kembali, kali ini wajahnya berseri seri. Ada senyum ketulusan dan kebahagiaan. Dan saat aku mulai menyadarinya semuanya mendadak gelap dan yang terdengar hanya tangisan.
***

“Putri..Putri..Putri kamu sudah sadar sayang?” Tanya mama dengan terisak isak. ”Aku dimana ma?” Tanyaku heran memandangi semua sudut ruangan. “Kamu mengalami kecelakaan, waktu kamu pulang sekolah ada mobil yang menabrak kamu sayang dan kamu tidak sadarkan diri selama satu minggu.” Jawab mama lebih agak tenang. “Benar kami semua sangat khawatir, mamamu nangis terus papa jadi tambah bingung.” Tambah papa. “Tapi allhamdulillah ya nak kamu sekarang sudah sadar dan kata dokter keadaan kamu sudah lebik baik.” Kata mama lagi dengan mengelus kepalaku. ”Ya sudah kamu istirahat dulu, kalau butuh sesuatu panggil mama ya sayang.” Kini mama sudah tersenyum. Aku hanya bisa mengangguk karena aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Mencerna semau hal yang baru saja aku alami. Aku terus memikirkan suara tadi dan mencoba merenungkannya. Semakin aku berpikir aku muali menemukan sumbernya. Kini aku sadar bunyi yang selalu mengusikku berasal dari dalam diriku sendiri, ada bom yang siap meledak kalau aku tetap diam dan menyimpan semua unek-unek yang ada. Mulai dari perilaku teman temanku, keluargaku, dan sampai impianku. Dan musibah ini menyadarkan aku bahwa hidup hanya sekali dan aku harus membuat pilihan untuk menjalankannya, menangis atau tertawa dan menderita atau bahagia. Aku bersyukur karena diberi kesempatan kedua untuk lebih bijak dalam memilih hidup yang akan aku jalani. Jika aku terbangun besok aku akan menjadi Putri yang baru, Putri yang tak ingin dipanggil Sasti, Putri yang bisa menolak hal yang tak ingin dilakukan, dan tentu saja Putri yang ingin mewujudkan impian sebagai guru dengan berbagai resiko yang akan dihadapi. Jika mereka orang tua dan teman yang baik mereka pasti akan menerima Putri yang baru karena Putri yang baru adalah Putri yang sesungguhnya. Putri yang sejati. Aku rasa malam ini aku akan tidur pulas karena bom itu sudah meledak dan aku hanya akan memperbaiki kerusaknya…
***

0 komentar:

Posting Komentar