Balkon Edisi 129 (Sosok)

Posted by Just Abud Label:

Penghidang Mayat Berprofesi Ganda

Ketekunan dan ketelitian merupakan kunci keberhasilannya. Murjiono menerapkan dua hal itu secara apik pada profesi ganda yang tengah ia geluti.

Dua pintu bangunan berwarna pucat itu terbuka lebar, seluruh isinya terlihat jelas dari luar. Melewati ambang pintu, tampak tumpukan kulit berbahan silikon berserakan. Tak luput para tulang yang dijejer rapi dengan alas kain. Begitu pula dengan kerangka manusia yang bergelantungan pada sebatang besi tua. Sementara di sudut ruangan, berdiri replika tubuh kaum Adam dan Hawa.

Penggambaran tersebut hanya sebagian kecil dari suasana Bengkel Anatomi di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Selasa (11/5), tampak dua orang lelaki di ruangan bengkel tengah sibuk bergulat dengan tulang di tangannya. Salah satu tersenyum hangat ketika balkon menyapa. Ia adalah Murjiono, pegawai negeri golongan II-B yang bekerja sebagai pelayan laboratorium. Sebagian besar waktunya didedikasikan untuk menyiapkan peralatan praktikum bagi mahasiswa FK. Di samping itu, ia telah membuktikan bahwa tak perlu gelar dokter untuk membuat replika kerangka manusia.

Berawal dari Coba-coba

Sulitnya mencari kerja pada tahun 1988 mendorong Murjiono untuk melamar pekerjaan di laboratorium FK. Hingga kini, ia telah menekuni pekerjaannya selama lebih dari 22 tahun sebagai pelayan laboratorium. Tugasnya ialah menyediakan alat dan bahan praktikum mahasiswa FK. Kesempatan lain datang usai ia bergulat dengan pekerjaannya selama dua belas tahun.

Pada tahun 2000, ia memperoleh tawaran dari Dr. dr. Djoko Prakosa untuk membuat replika kerangka manusia. Mulanya lelaki asli Sleman ini merasa ragu untuk menyanggupi tawaran tersebut. Namun ia tetap mencobanya. “Saat itu, saya sekadar coba-coba,” ungkapnya. Enam bulan pertama, ia belajar membuat cetakan replika walau berbekal pengetahuan seadanya.

Replika pertamanya berbentuk kerangka sederhana. Setelah berhasil, ia mencoba membuat tiruan lengan yang berinfus. Saat proses inilah kendala mulai hadir. Bagi Murjiono, pembuatan tiruan lengan berinfus tak semudah membuat replika kerangka badan. “Saya sering mengalami kegagalan dalam pembuatan tiruan ini,” tuturnya. Ia pun mencoba berbagai cara. “Saat itu, saya juga menggunakan ukuran lengan teman sebagai contoh,” kenangnya. Akhirnya ia pun mampu membuat tiruan lengan berinfus yang digunakan dalam praktikum penyuntikan cairan ke aliran darah manusia.

Seiring berjalannya waktu, kemampuan Murjiono pun meningkat. Lengan jahit yang biasa digunakan pada praktik menjahit luka pun berhasil dibuatnya. Lelaki yang lahir 43 tahun silam itu kini diberi kepercayaan untuk menjalankan usaha Bengkel Anatomi di FK UGM.

Kepercayaan yang diperoleh, tak lantas membuat Murjiono berpuas diri. Ia tetap menciptakan inovasi-inovasi. Bahkan melalui arahan sederhana Dr. dr. Djoko Prakosa, ia sanggup membuat replika alat kelamin pria, sirkumsisi, yang digunakan dalam praktikum sunat.

Pekerjaan Beresiko

Namun, pekerjaan yang tengah ditekuni Murjiono bukan tanpa resiko. Sebagai pelayan laboratorium FK, ia sering berhubungan dengan mayat yang diawetkan— kadaver. Bahan utama dari pengawet mayat adalah formalin yang berpengaruh buruk bagi tubuh manusia.

Bagi Murjiono, interaksi dengan formalin sudah dianggapnya seperti ritme menggosok gigi. “Hampir terjadi setiap hari,” ujarnya. Frekuensi praktikum yang dilakukan mahasiswa FK juga mempengaruhi kadar formalin di lingkungan Bengkel Anatomi. “Saat ada praktikum, bau formalin tercium hingga kawasan Bengkel,” tambah laki-laki berkumis itu. Situasi ini terjadi karena letak Bengkel Anatomi berhadapan dengan laboratorium FK.

Tingginya frekuensi formalin yang dihirup Murjiono dapat berpengaruh pada gangguan pernafasan. Bahkan, mampu menyebabkan penyakit kanker. Murjiono jelas mengetahui resiko dari pekerjaan ini. Karena itu, ia membiasakan diri mengenakan masker, sarung tangan, dan baju tahan air ketika memindahkan kadaver. Tindakan preventif ini berfungsi untuk meminimalisir pengaruh formalin untuk menjangkau tubuh. “Namun, dampaknya tetap terasa dalam tubuh,” keluhnya. Ia juga meresahkan bahwa fasilitas keselamatan kerja di FK kurang memadai.

Murjiono sudah dua kali memberikan permohonan untuk penyediaan sepatu karet, tetapi tak ada tanggapan. Baginya, sepatu tersebut bermanfaat cukup signifikan. Tanpa sepatu itu, kakinya yang terkadang lecet akan terasa perih bila tak sengaja terkena tumpahan formalin.

Guna meminimalisir dampak formalin, Murjiono pun diberi jatah susu. Fungsinya untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kini, jatah tersebut berkurang. Jika awalnya ia bisa minum jatah susu dari bagian anatomi setiap hari, semenjak tahun lalu jatah tersebut diganti dengan jatah dari fakultas yakni seminggu dua kali. “Mungkin bagian anatomi ingin mengurangi anggaran pengeluaran,” ungkap Murjiono. Namun, berkurangnya anggaran tak lantas membuat permintaannya terhadap sepatu karet dipenuhi.

Ancaman kesehatan juga datang dari pekerjaannya di Bengkel Anatomi. Dalam pembuatan kerangka dan maneken, Murjiono juga menggunakan zat kimia pemercepat proses pengerasan bahan dasar rangka yakni resin. Efek bahan ini pun buruk bagi tubuh. Padahal intensitasnya di bengkel cukup lama. Lebih dari dua belas jam digelutinya untuk membuat tiruan anggota tubuh manusia. Akan tetapi, resiko tersebut tidak mengurangi kecintaan dan loyalitasnya di Bengkel Anatomi.

Fleksibel

Meskipun pekerjaan Murjiono penuh resiko, pendapatan yang diterima justru tak sesuai. Sebagai pelayan laboratorium, ia hanya memperoleh gaji 2,1 juta per bulan. Sebagai pengelola Bengkel Anatomi, pendapatan yang diterimanya pun tak pasti. “Ya mau gimana lagi, sekarang susah mencari pekerjaan,” ungkap bapak tiga anak ini. Padahal, atas jasanya lah Bengkel Anatomi memiliki pelanggan dari luar Jawa dan mulai dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Bengkel yang dikelola juga kerap dibanjiri pesanan replika. Harga yang dipasarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 2.500,00 hingga Rp 6.000.000,00. Bahkan satu replika juga mampu menghasilkan keuntungan hampir seratus persen dari harga asli. Tiruan tangan berinfus, misalnya. Biaya produksi yang dihabiskan sekitar Rp 600.000,00 dan bisa dijual seharga Rp 1.200.000,00.

Meskipun keuntungan yang diperoleh besar, Murjiono mengaku tak mengetahui sistem keuangan Bengkel Anatomi. Semua laporan administrasi diatur oleh Dr. dr. Djoko Prakosa, selaku pemilik. “Saya pribadi merasa enggan kalau menanyakan masalah ini ke beliau,” ujar anak kedua dari enam bersaudara ini. Ia merasa Dr. dr. Djoko Prakosa telah berjasa besar. Segala kesempatan yang diperolehnya dianggap lebih dari cukup.

Namun, kegelisahan Murjiono akan nasib karyawan di bagian anatomi FK kembali menghantui. Ia meresahkan tak adanya sistem rotasi karyawan di bagian anatomi FK dapat berakibat buruk pada karyawan. Berbeda dengan bagian lain yang memiliki sistem rotasi. “Jika mulanya menjadi karyawan di bagian laboratorium, bisa pindah menjadi karyawan administrasi,” tuturnya.

Keberadaannya di UGM juga tak banyak dikenal orang. Mahasiswa-mahasiswa kedokteran sekadar lalu lalang untuk meminjam replika tulang. Padahal, atas jasa pria ini nama Bengkel Anatomi cukup terkenal di arena penjualan replika. Asanya untuk dikenal pun tak begitu besar. Ia tak mengharapkan apresiasi yang istimewa dari mahasiswa. Cukuplah dengan memanggil dan mengingat nama akrabnya saja: Murjiono. [Abud, Gigi]

0 komentar:

Posting Komentar