Balpress Part 3

Posted by Just Abud Label:

Lakon Korupsi di Atas Panggung Satire


“Hanya korban yang bisa membinasakan korupsi” itulah sebaris kutipan yang tertera dalam poster PAN-DOL yang tersebar di seluruh daerah Yogyakarta.


Ketika pintu masuk dibuka pada jumat malam (4/6), para penonton mulai berdesakan untuk memasuki Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Lampu-lampu di ruangan tersebut belum diredupkan. Suasana cukup riuh pada barisan depan panggung. Penonton dengan tiket lesehan terlihat berebut menemukan tempat paling strategis.


Di tengah panggung terdapat ruangan terbuka berbentuk persegi yang dihias oleh tirai merah. Mikrofon-mikrofon dipasang bergelantung laiknya lampu-lampu kecil. Peralatan musik tersusun rapi dan siap untuk ditabuh. Pemain-pemain yang lain mulai sibuk berinteraksi menciptakan suasana kebersamaan. Pada saat itu, sempat terpikir bahwa pementasan mereka telah dimulai. Namun, pikiran itu hilang seketika oleh kedatangan Djaduk Ferianto yang mengucapkan salam dengan banyolan-banyolan khasnya.


Lampu ruangan semakin temaram sebagai tanda dimulainya pementasan. Suasana yang sesaat senyap disambut oleh tarian-tarian dan alunan musik Jawa. Mereka memperkenalkan nama teater Gandrik dalam lantunan pantun. Selain itu, juga terdengar dendangan khas nyinden yang kemudian disusul oleh nyanyian lagu. Adegan demi adegan pun mulai bergulir membentuk sebuah rangkaian cerita.


Gagasan cerita yang diusung berawal dari keresahan Heru Kesawa Murti selaku penulis naskah. “Bagaimana kalau yang paling krusial dan signifikan dalam persoalan korupsi itu adalah korbanya,” ujarnya dalam kutipan wawancara. Masyarakat hanya membicarakan kasus dan koruptornya, namun mereka tak pernah menyoroti nasib korban korupsi yang psikologisnya bisa terganggu karena kasus tersebut.


Kritik inilah yang ingin disampaikan melalui PAN-DOL. Para pemain mengkritik besan presiden yang terlibat korupsi. Mereka juga mengibaratkan Sri Mulyani sebagai TKW karena telah menerima pekerjaan dari luar negeri. Selain itu, sindiran disampaikan kepada anggota DPR. Mereka juga menyebutkan bahwa anggota DPR hanyalah orang yang bodoh. “Banyak bertanya berarti bodoh?” tanya Citra yang memerankan tokoh Maekani. “Kan anggota dewan,” jawab Owel, tokoh yang diperankan Whani.


Selain dikemas jenaka, ada adegan yang begitu istimewa. Adegan ping pong pada pemeriksaan yang dilakukan oleh panitia pemeberantasan korupsi. Dalam adegan itu, tampak jelas perbedaan karakter dua tokoh, yakni Masgul dan Aleman. Masgul yang diperankan Heru Kesawa Murti merupakan tokoh yang mudah terpengaruh dan tidak bisa tenang dalam menghadapi sesuatu. Di sisi lain, ada Aleman yang tenang dan suka membelokkan permasalahan. Pemeriksaan yang mereka alami beradu anggun di satu panggung.


Para pemain teater Gandrik bebas berimprovisasi. Agar memudahkan penganalogian penonton, mereka menggunakan peralatan di atas panggung ketika berdialog. Hal ini jelas membuat penonton tak perlu berpikir lama untuk memahami maksud dialog mereka.


Sayangnya, adegan penganalogian dengan peralatan yang ada berlangsung terlalu lama. Penonton sempat bosan melihat adegan yang monoton. Dalam berdialog, mereka juga menggunakan bahasa Jawa. Padahal banyak penonton yang berasal dari luar Jawa sehingga mereka mengalami kesulitan memahami dialog itu. Meskipun demikian, pementasan teater Gandrik selalu dinantikan oleh masyarakat Yogyakarta. Penonton tak kan menyesal menghabiskan akhir pekan sambil menikmati pementasan mereka. [Abud]

0 komentar:

Posting Komentar