Teater Gandrik

Posted by Just Abud Label:

Lakon Korupsi di Atas Panggung Satire

“Hanya korban yang bisa membinasakan korupsi” itulah sebaris kutipan yang tertera dalam poster PAN-DOL yang tersebar di seluruh daerah Yogyakarta.

Ketika pintu masuk dibuka pada jumat malam (4/6), para penonton mulai berdesakan untuk memasuki ruangan. Mereka seakan tak sabar melihat penampilan seniman yang dinaungi oleh teater Gandrik. Namun, keinginan mereka harus terhambat oleh petugas pemeriksaan karcis yang berdiri di sisi pintu. Lampu di langit-langit gedung masih menyala kala penonton telah menemukan tempat duduknya di dalam ruangan. Suasana cukup riuh pada barisan depan panggung. Penonton dengan tiket lesehan terlihat berebut menemukan tempat paling strategis.

Di tengah panggung tampak ruangan terbuka berbentuk persegi yang dihias oleh tirai merah. Mikrofon-mikrofon dipasang bergelantung laiknya lampu-lampu kecil. Peralatan musik tersusun rapi di sebelahnya dan siap untuk ditabuh. Pemain-pemain yang lain mulai sibuk berinteraksi menciptakan suasana kebersamaan. Pada saat itu, sempat terpikir bahwa pementasan mereka telah dimulai. Namun, pikiran itu hilang seketika oleh kedatangan Djaduk Ferianto

Ia merupakan salah satu tim kreatif dalam pertunjukan teater Gandrik. Teater yang sudah berdiri selama 27 tahun ini berorientasi pada model kritik “guyon parikeno”. “guyon parikeno” merupakan sindiran secara halus terhadap penguasa. Pementasannya pun terkadang seperti mengejek diri sendiri walaupun sesungguhnya objeknya adalah orang lain. Pementasan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dibuka oleh ucapan salam dan banyolan-banyolan khas Djaduk.

Banyolan itu berakhir diiringi temaramnya lampu ruangan Concert Hall. Suasana yang sesaat senyap disambut oleh tarian-tarian dan alunan musik Jawa. Mereka memperkenalkan nama teater Gandrik dalam lantunan pantun. Selain itu, juga terdengar dendangan khas nyinden yang kemudian disusul oleh nyanyian lagu. Adegan demi adegan pun mulai bergulir. Dalam adegan pertama, sudah terasa unsur komedi yang membuat penonton tertawa. Pergantian tiap-tiap adegan ditandai dengan kerasnya alunan musik Jawa yang ditabuh.

Tiap adegan yang mereka lakoni mengalir dengan mulus sehingga membentuk cerita yang mudah dipahami penonton. Pementasan tersebut menceritakan mengenai panti perawatan mental korban korupsi. Panti yang dikenal dengan PAN-DOL atau panti idola ini menjadi solusi pemberantasan korupsi. Para korban korupsi pun mendapatkan prestige yang tinggi dari presiden ataupun masyarakat. Karena itu, masyarakat berbondong-bondong ingin menjadi salah satu penghuni PAN-DOL.

Gagasan cerita di atas berawal dari keresahan Heru Kesawa Murti selaku penulis naskah. “Bagaimana kalau yang paling krusial dan signifikan dalam persoalan korupsi itu adalah korbanya,” ujarnya dalam kutipan wawancara. Dalam realitas saat ini, masyarakat hanya membicarakan kasusnya, koruptornya, dan besar uang yang dikorupsi. Namun, mereka tak pernah menyoroti nasib korban korupsi, seperti keluarga dan teman yang bisa saja psikologisnya terganggu karena kasus tersebut.

Kegelisahan itulah yang memicu Heru untuk mengemasnya dalam sebuah drama “guyon parikeno”. Kritik yang disampaikan merupakan kritik yang selama ini hangat dibicarakan. Para pemain mengkritik besan presiden yang terlibat korupsi. Mereka juga mengibaratkan Sri Mulyani sebagai TKW karena telah menerima pekerjaan dari luar negeri. Selain itu, sindiran disampaikan pada anggota DPR. Mereka menyebutkan bahwa anggota DPR hanyalah orang yang bodoh. “Banyak bertanya berarti bodoh?” tanya Citra yang memerankan tokoh Maekani. “Kan anggota dewan,” jawab Owel, tokoh yang diperankan Whani.

Selain kemasan kritiknya yang jenaka, ada adegan yang begitu istimewa, yakni adegan ping pong. Adegan tersebut terjadi ketika pemeriksaan dilakukan oleh panitia pemeberantasan korupsi. Dalam adegan itu, tampak jelas perbedaan karakter dua tokoh, yakni Masgul dan Aleman. Masgul yang diperankan Heru Kesawa Murti merupakan tokoh yang mudah terpengaruh dan tidak bisa tenang dalam menghadapi sesuatu. Di sisi lain, ada Aleman yang tenang dan suka membelokkan permasalahan. Tokoh yang diperankan Broto Wijayanto ini banyak menggunakan bahasa Inggris yang diplesetkan. Pemeriksaan yang mereka alami beradu anggun di satu panggung.

Para pemain teater Gandrik menunjukkan bebas berimprovisasi. Selain berimprovisasi antarpemain, mereka juga berimprovisasi dengan peralatan yang ada. Untuk memudahkan penganalogian penonton, mereka menggunakan peralatan di atas panggung ketika berdialog. Hal ini jelas membuat penonton tak perlu berpikir lama untuk memahami maksud dialog mereka.

Sayangnya, adegan penganalogian dengan peralatan yang ada berlangsung terlalu lama. Penonton sempat bosan melihat adegan yang monoton. Dalam berdialog, mereka juga menggunakan bahasa Jawa. Padahal banyak penonton yang berasal dari luar Jawa sehingga mereka mengalami kesulitan memahami dialog itu. Meskipun demikian, pementasan teater Gandrik selalu dinantikan oleh masyarakat Yogyakarta. Penonton tak kan menyesal menghabiskan akhir pekan sambil menikmati pementasan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar