Hari Buruh

Posted by Just Abud Label:

Para Pejuang Buruh Beraksi

Panas hari sabtu, 1 mei 2010 begitu menyengat kulit. Tak terasa keringat mengalir begitu deras dari tubuh mereka. Namun, semangat tetap terlihat di wajah-wajah itu. Begitulah gambaran para pejuang buruh yang berjalan menuju Istana Kenegaraan Yogyakarta. Mereka menyebut dirinya “Para Pembangkang Negeri Ini”. Pembangkangan-pembangkangan dilakukan untuk memeperingati meyday, hari pembebasan kekangan buruh di seluruh dunia. Mereka menyuarakan aspirasinya terhadap penindasan kaum buruh.

Aksi pembangkangan ini diawali oleh AMUK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan) yang menyanyikan mars mahasiswa di depan Benteng Vredeburg. Mereka mengusung tema “Selamat Datang Para Pejuang Buruh, Bersatu Rebut Kesejahteraan, Lawan penindasan” pada spanduknya. “Puluhan tahun buruh di Yogyakarta ditindas,” teriak Edi Susilo, salah satu aktivis dari AMUK. Orasi mulai digalakkan untuk menambah semangat pejuang buruh yang lain. AMUK menyoroti masalah sistem kerja outsourching yang selama ini telah membuat buruh semakin sengsara.

Hal yang sama juga diumbar oleh FMY (Forum Mahasiswa Yogyakarta). Mereka datang dari arah utara Istana Kenegaraan Yogyakarta untuk ikut bergabung. Suasana semakin semarak oleh kemunculan FORI (Front Oposisi Rakyat Indonesia) dan FMN (Front Mahasiswa Nasional). FMN berorasi mengenai sistem pemerintahan pada saat ini. Mereka melagukan slogan “Sekolah harus gratis, kuliah harus murah, anggarannya dinaikkan”.

Berbeda dengan FMN, aksi FORI dilatarbelakangi oleh kekalahan kaum buruh yang di PHK untuk mendapatkan haknya. Hal ini didukung oleh Sukijan, penjual minuman di depan Istana Kenegaran Yogyakarta yang pernah mengalami PHK. “Saya di-PHK secara sepihak dan tidak mendapatkan pesangon,” keluhnya. Ia juga menyayangkan sistem hukum yang ada di Indonesia. “Saya sudah mencoba ke Depnaker dan Pengadilan Negeri untuk minta bantuan, tetapi mereka takut untuk memproses,” ungkap Sukijan.

Sistem hukum dan ketentuan kebijakan-kebijakan yang merugikan kaum buruh dinilai sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Mereka tidak mampu mempertanggungjawabkan program kerjanya. Program kerja selama seratus hari tak mempunyai signifikansi untuk kesejahteraan buruh. Oleh karena itu, mereka melampiaskan kekecewaannya pada patung babi. Patung babi tersebut tertempel foto presiden dan wakilnya sebagai wujud penganalogian. Kemudian, mereka membakar patung babi dengan diiringi musik dan tarian sebagai tanda kepuasan.

Aksi yang sedikit anarkis ini tak lantas memprovokasi para pejuang buruh yang lain dan polisi. Dari awal, polisi hanya sekadar mengawasi. ”Ada lima ratus polisi yang disebar di unit-unit tertentu untuk berjaga-jaga,” ujar Eko Susilo, polisi yang bertugas di sana. Tidak ada perkelahian ataupun kejadian lain yang memicu kerusuhan. Meskipun demikian, Sukijan menganggap aksi ini hanya sebagai bentuk penyatuan kekuatan secara emosional. “Aksi ini belum efektif, akan lebih efektif jika kita duduk bersama dengan kalangan atas untuk membahas permasalahan yang ada,” tambahnya. [Abud]

0 komentar:

Posting Komentar