Malam ini aku harusnya pulang ke
Masa-masa itu, masa SMA yang katanya masa yang sangat menggembirakan bagi mayoritas orang. Namun, kulalui bagai neraka ketika saat itu aku ditetapkan menjadi anak IPA di SMA itu. Orang tuaku tentu senang mendengar hal itu, sebuah kebanggan adalah paradigma yang dimiliki mereka dan orang tua yang lain. Aku pun awalnya terjebak dalam paradigma mereka. Namun, sejenak aku sadar aku tak mampu di dalamnya. Bukan karena sikap pesimis, tapi realistis. Aku bertanya pada mamaku untuk pindah ke jurusan IPS dan tentu saja itu pertanyaan yang tolol. Bagaimana mungkin orang tua mau mengorbankan kebanggannya hanya demi keegoisan anaknya. Dan kesalahan pertamaku adalah aku mengalah. Mencoba menjalani kehidupan di IPA sungguh menyesakkan. Hari-hari yang dijalani hanya sebagai rutinitas tak bermakna. Aku mengisi tiap pelajaran di sekolah dengan tidur lelap mencoba melupakan kebodohanku. Karena itulah aku menjadi anak yang selalu diremehkan disana. Di tahun terakhir berada pada “kelas jenius”, tempat berkumpulnya anak-anak yang kepandaiannya mayoritas di atas rata-rata. Awalnya mungkin menggembirakan karena bisa sedikit memanfaatkan. Namun, sikap individualisme mereka yang sudah akut membuatku semakin tertekan. Dalam pembagian kelompok mereka menghindar dan mungkin berdoa agar tak sekelompok denganku, entahlah hanya mereka yang tahu. Oleh karena itu, kelulusanku dengan nilai 49.95 adalah sebuah keajaiban, sebuah keberuntungan yang selalu mereka ucapkan padaku.
Aku tak mau hal tersebut terulang kembali ketika aku kuliah. Aku ingin menjalani sesuatu yang aku cintai, bukan belajar mencintai hal yang sebenarnya aku benci. Kenangan-kenangan masa lalu, hobby yang aku miliki, dan keinginan untuk karir masa depanku memantapkan hatiku untuk memilih kuliah di jurusan Sastra
Akhirnya mereka memperbolehkan meskipun aku tahu itu hanya ucapan sementara. Secara diam-diam aku membuat daftar pilihan SNMPTN sesuai keinginanku. Pilihan pertama Sastra Indonesia UNPAD (
Esok harinya aku mulai melakukan penawaran untuk masa depanku. Hmm…lucu memang melakukan penawaran dengan orang tua untuk masa depan yang harusnya menjadi hakku. Aku akan mengikhlaskan satu tahun tak kuliah asalkan boleh mengikuti UM-UGM dan memperbolehkanku kuliah disana ketika aku diterima nanti. Ini gambling terbesar dalam hidupku. Mereka menyepakatinya. Satu tahun kujalani dengan belajar. Aku berperang dengan psikisku yang sudah rusak. Di saat teman-temanku telah belajar ilmu baru, aku masih berkutat dengan pelajaran SMA. Di saat mereka membicarakan nilai IP, aku hanya tahu tentang hasil tryout. Begitu sulit mengikhlaskan sesuatu yang sudah kita dapatkan dengan banyak perjuangan. Ujian UM-UGM kujalani tanpa dukungan penuh dari keluarga. Disaat para peserta diantar dengan orang tua, kakak, atau bahkan saudara mereka, aku hanya menunggu sendirian. Menatap anak-anak yang lain dengan iri. Semua aku lakukan tanpa mereka. Aku seakan hidup sendirian. Saat pengumuman itu tiba dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan rasanya tak bisa aku lukiskan. Satu tahun terasa tak sia-sia ketika menyandang nama mahasiswa UGM. Mungkin bukan sekadar itu alasannya, tapi juga jauh dari keluarga membuatku mempunyai ruang untuk menata kembali perasaanku. Rasa sakit itu butuh waktu untuk sembuh. Selama hampir satu tahun di Yogya, baru bulan lalu aku merasa kangen dengan mereka. Namun, tetap saja rasa kangen ini tak membuatku berubah pikiran untuk datang pada acara wisuda itu. Aku masih belajar untuk memahami mereka. Aku ingin semua dimulai dari awal. Ketika aku mulai tinggal di Yogya, aku telah menekan tombol restart untuk hidupku. Mereka tetap bagian dari hidupku. Aku mulai membangun kepercayaanku pada mereka karena aku sadar aku tak
0 komentar:
Posting Komentar