Kenangan masa lalu

Posted by Just Abud Label:


Malam ini aku harusnya pulang ke Surabaya untuk wisuda kakakku besok. Namun, entah kenapa aku malas untuk pulang ke Surabaya dan malah pergi menggeje dengan anak-anak balairung. Aku menjadikan agenda nggeje sebagai alasan kesibukan untuk menutupi rasa bersalah yang ada. Rasionalisasi untuk menghindar dari mereka. “Hmmm, aku sibuk ujian dan balairung”kataku pada mereka. Mengapa aku masih begitu apatis pada mereka? Apatis pada keluarga sendiri sebenarnya sangat aneh. Tapi memang itu yang sampai sekarang aku rasakan. Aku tak mau kedatanganku akan memicu kenangan-kenagan itu. Kenangan dimana orang tuaku kecewa dengan keputusanku. Tentu aku masih sangat ingat satu setengah tahun yang lalu. Ketika aku baru lulus dari bangku SMA dengan nilai 49,95 nilai yang bagi mereka memuaskan, namun sekadar keajaiban bagi diriku.

Masa-masa itu, masa SMA yang katanya masa yang sangat menggembirakan bagi mayoritas orang. Namun, kulalui bagai neraka ketika saat itu aku ditetapkan menjadi anak IPA di SMA itu. Orang tuaku tentu senang mendengar hal itu, sebuah kebanggan adalah paradigma yang dimiliki mereka dan orang tua yang lain. Aku pun awalnya terjebak dalam paradigma mereka. Namun, sejenak aku sadar aku tak mampu di dalamnya. Bukan karena sikap pesimis, tapi realistis. Aku bertanya pada mamaku untuk pindah ke jurusan IPS dan tentu saja itu pertanyaan yang tolol. Bagaimana mungkin orang tua mau mengorbankan kebanggannya hanya demi keegoisan anaknya. Dan kesalahan pertamaku adalah aku mengalah. Mencoba menjalani kehidupan di IPA sungguh menyesakkan. Hari-hari yang dijalani hanya sebagai rutinitas tak bermakna. Aku mengisi tiap pelajaran di sekolah dengan tidur lelap mencoba melupakan kebodohanku. Karena itulah aku menjadi anak yang selalu diremehkan disana. Di tahun terakhir berada pada “kelas jenius”, tempat berkumpulnya anak-anak yang kepandaiannya mayoritas di atas rata-rata. Awalnya mungkin menggembirakan karena bisa sedikit memanfaatkan. Namun, sikap individualisme mereka yang sudah akut membuatku semakin tertekan. Dalam pembagian kelompok mereka menghindar dan mungkin berdoa agar tak sekelompok denganku, entahlah hanya mereka yang tahu. Oleh karena itu, kelulusanku dengan nilai 49.95 adalah sebuah keajaiban, sebuah keberuntungan yang selalu mereka ucapkan padaku.

Aku tak mau hal tersebut terulang kembali ketika aku kuliah. Aku ingin menjalani sesuatu yang aku cintai, bukan belajar mencintai hal yang sebenarnya aku benci. Kenangan-kenangan masa lalu, hobby yang aku miliki, dan keinginan untuk karir masa depanku memantapkan hatiku untuk memilih kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Disinilah kekecewaan itu ada. Kakakku yang telah kuliah di jurusan Akuntansi di universitas terkenal di Surabaya membuatku semakin disudutkan dan dibanding-bandingkan. Kamar itu telah menjadi saksi bisu bagaimana mereka menghina-hina pilihanku. Teriakan tiga orang menghujaniku tanpa ampun. Aku mencoba menjelaskan alasanku pada mereka, nemun mereka berbalik menyalahkanku. Menyalahkan semua keinginanku dan impianku. Apalagi setelah mereka tahu aku ingin kuliah di luar kota. Mereka semakin marah dan bahkan menertawakanku. “Kuliah di luar kota CUMA pengen ngambil Sastra Indonesia?!”ucap mamaku dengan tawanya. Tawa itu semakin menusuk hatiku. Tawa mereka yang semakin meremehkanku. Tentu aku bukan gadis yang tegar untuk menghadapi cercaan itu. Sempat air mata ini tumpah menahan emosi yang mungkin tak bisa lagi terucapkan. Mereka melontarkan berbagai alasan untuk mempengaruhiku, namun aku tak mau lagi mengalah. Aku tetap maju meskipun mereka menggalang bantuan dari para saudara dan tetangga. Mereka semua selalu menyindirku ketika melihat aku. Tapi aku tak mau menyerah kali ini. Sudah cukup dua tahun aku sia-siakan demi kebanggan mereka semata. Jika kali ini aku mundur, maka aku tak kan punya lagi kekuatan untuk melawan.

Akhirnya mereka memperbolehkan meskipun aku tahu itu hanya ucapan sementara. Secara diam-diam aku membuat daftar pilihan SNMPTN sesuai keinginanku. Pilihan pertama Sastra Indonesia UNPAD (Bandung), Bahasa dan Sastra Indonesia UNDIP (Semarang), dan Kebidanan UNAIR hanya sebagai formalitas. Pada hari pengumuman hasil SNMPTN tentu perasaanku tidak karuan. Setelah aku tahu bahwa aku diterima di jurusan Sastra Indonesia UNPAD aku sangat bahagia. Aku memberi kabar pada mereka dengan senyum kebanggaan karena merasa menang. Mereka hanya merespon dengan diam. Awalnya aku pikir mereka akan memperbolehkan aku untuk kuliah disana meskipun dengan terpaksa, namun aku keliru. Mamaku mencoba berbagai cara untuk mencegahku, ia menghubungi koneksinya di UNAIR agar aku bisa masuk di sana tapi alhamdulillah gagal. Bahkan aku baru tahu kalau secara tidak langsung dia menyuruhku meminum air dari paranormal agar aku gagal ujian. Mengetahui hal itu sungguh aku merasa kecewa dan kasihan. Ia ternyata begitu menyayangiku meskipun dengan cara yang salah. Dengan penuh percaya diri aku mengisi daftar mahasiswa baru secara online lalu mencetaknya dengan penuh senyum. Namun, malam itu pertengkaran itu terjadi kembali. Mereka tetap melarangku. Papaku sempat kalap sampai menendang kursi dan meja. Terdengar tangis mamaku dalam kemarahan papaku. Apakah aku terlalu egois?mungkin memang benar aku terlalu egois. Tapi haruskah aku menyerah ketika keinginan itu sudah dalam genggaman tanganku?kami kembali beradu mulut. Menumpahkan semua amarah-amarah di masa lalu yang memang sudah lama aku pendam. Aku merasa lega tetapi juga ketakutan. Dalam kebimbanganku, aku memutuskan untuk pergi dari rumah sejenak. Mencoba merenungkan kembali dan berpikir dengan jernih, tetapi tak di rumah itu.

Esok harinya aku mulai melakukan penawaran untuk masa depanku. Hmm…lucu memang melakukan penawaran dengan orang tua untuk masa depan yang harusnya menjadi hakku. Aku akan mengikhlaskan satu tahun tak kuliah asalkan boleh mengikuti UM-UGM dan memperbolehkanku kuliah disana ketika aku diterima nanti. Ini gambling terbesar dalam hidupku. Mereka menyepakatinya. Satu tahun kujalani dengan belajar. Aku berperang dengan psikisku yang sudah rusak. Di saat teman-temanku telah belajar ilmu baru, aku masih berkutat dengan pelajaran SMA. Di saat mereka membicarakan nilai IP, aku hanya tahu tentang hasil tryout. Begitu sulit mengikhlaskan sesuatu yang sudah kita dapatkan dengan banyak perjuangan. Ujian UM-UGM kujalani tanpa dukungan penuh dari keluarga. Disaat para peserta diantar dengan orang tua, kakak, atau bahkan saudara mereka, aku hanya menunggu sendirian. Menatap anak-anak yang lain dengan iri. Semua aku lakukan tanpa mereka. Aku seakan hidup sendirian. Saat pengumuman itu tiba dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan rasanya tak bisa aku lukiskan. Satu tahun terasa tak sia-sia ketika menyandang nama mahasiswa UGM. Mungkin bukan sekadar itu alasannya, tapi juga jauh dari keluarga membuatku mempunyai ruang untuk menata kembali perasaanku. Rasa sakit itu butuh waktu untuk sembuh. Selama hampir satu tahun di Yogya, baru bulan lalu aku merasa kangen dengan mereka. Namun, tetap saja rasa kangen ini tak membuatku berubah pikiran untuk datang pada acara wisuda itu. Aku masih belajar untuk memahami mereka. Aku ingin semua dimulai dari awal. Ketika aku mulai tinggal di Yogya, aku telah menekan tombol restart untuk hidupku. Mereka tetap bagian dari hidupku. Aku mulai membangun kepercayaanku pada mereka karena aku sadar aku tak kan memulai apapun sebelum bisa mempercayai siapapun.

0 komentar:

Posting Komentar